WNTinib, obat baru untuk hepatoblastoma, dapat memperlambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan angka kelangsungan hidup anak-anak. Penelitian menunjukkan efektivitasnya pada sel kanker dan tikus uji. Peneliti sedang mencari anak-anak yang bisa mendapatkan manfaat dari pengobatan ini, terutama yang memiliki mutasi CTNNB1. WNTinib memiliki potensi untuk menjadi terapi baru yang lebih aman bagi anak-anak dibanding kemoterapi tradisional.
Sebuah obat baru bernama WNTinib menunjukkan kemampuan untuk memperlambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan angka kelangsungan hidup pada hepatoblastoma, jenis kanker hati yang sering terjadi pada anak-anak. Efek ini terlihat pada sel kanker yang diambil dari pasien dan diimplantasikan ke dalam tikus. Peneliti saat ini sedang merancang strategi untuk mengidentifikasi anak-anak yang mungkin mendapatkan manfaat dari pengobatan ini.
Hepatoblastoma merupakan penyakit langka yang merupakan jenis kanker hati paling umum pada anak di bawah tiga tahun, dengan insiden 1,8 kasus per juta anak per tahun, dan angka ini cenderung meningkat. Beberapa pilihan pengobatan yang ada terbatas pada pembedahan dan kemoterapi. Sebagai contoh, kemoterapi standar seperti cisplatin dan doxorubicin dapat menyebabkan efek samping yang serius dan berkepanjangan, seperti gangguan pendengaran dan masalah jantung.
Ms. Ugne Balaseviciute, peneliti pradoctoral, menjelaskan bahwa efek samping kemoterapi bisa menjadi masalah besar bagi anak-anak yang diobati pada usia dini, sehingga mendesak perlunya obat-obatan baru yang lebih efektif dan lebih baik ditoleransi oleh pasien anak. WNTinib, yang ditargetkan untuk mutasi genetik utama di hepatoblastoma, yaitu CTNNB1, telah dikembangkan untuk menargetkan sel kanker tanpa merusak sel sehat.
Sekitar 90% sel hepatoblastoma mengandung mutasi CTNNB1, menjadikannya target potensial untuk pengobatan. Para peneliti menciptakan tiga model, di mana jaringan tumor yang diambil dari pasien diimplantasikan ke dalam tikus. Hasil menunjukkan bahwa tikus yang diobati dengan WNTinib menunjukkan pertumbuhan tumor yang signifikan lebih rendah dan kelangsungan hidup yang lebih lama.
Di model pertama, tikus yang diobati dengan WNTinib memiliki kelangsungan hidup rata-rata dua kali lebih lama dibandingkan kelompok kontrol. Untuk model kedua dan ketiga, tumor pada tikus yang diobati dengan WNTinib juga lebih kecil secara signifikan dibandingkan kelompok kontrol, dengan beberapa tikus masih hidup setelah 148 hari. Penemuan ini menunjukkan bahwa WNTinib bisa memengaruhi pengobatan hepatoblastoma secara efektif.
Dalam penelitian ini, juga dilihat beberapa kinase yang terlibat dalam respons kanker terhadap WNTinib dan mekanisme resistensinya. Beberapa yang dianggap berpotensi untuk digandengkan dengan WNTinib termasuk DYRK1A, PRKC1, dan CDK14. Peneliti mengidentifikasi DYRK1A sebagai protein yang dapat meningkatkan efektivitas WNTinib dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengkonfirmasi temuan tersebut.
Ms. Balaseviciute menekankan bahwa memahami mekanisme dan efektivitas WNTinib dalam kanker hati dapat membuka kesempatan eksplorasi potensi obat ini pada kanker lain yang juga memiliki mutasi CTNNB1. Selain itu, kami berharap ini dapat memengaruhi pedoman klinis dan manajemen pasien hepatoblastoma serta meningkatkan hasil pengobatan.
Hepatoblastoma adalah kanker hati yang jarang namun paling umum terjadi pada anak-anak di bawah usia dua tahun. Dengan insiden yang meningkat dan terbatasnya pilihan terapeutik saat ini yang sering mengakibatkan efek samping jangka panjang, seperti kehilangan pendengaran dan masalah kardiovaskular, penelitian obat baru seperti WNTinib menjadi sangat penting. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan terapi yang lebih efektif dan terjangkau untuk kondisi tersebut.
Penelitian ini menunjukkan bahwa WNTinib memiliki potensi sebagai pengobatan untuk hepatoblastoma dengan mutasi CTNNB1. Dengan mengurangi pertumbuhan tumor dan meningkatkan kelangsungan hidup, WNTinib bisa menjadi obat yang menjanjikan untuk anak-anak. Namun, riset lebih lanjut diperlukan untuk memahami mekanisme dan efektivitasnya serta untuk mengembangkan terapi kombinasi yang lebih ampuh dan terarah.
Sumber Asli: www.news-medical.net