Tes Pengklasifikasi Gen Mungkin Memberikan Hasil Buruk pada Kanker Prostat

Tes pengklasifikasi gen untuk kanker prostat menunjukkan pengaruh pada keputusan pengobatan meskipun kekurangan data jangka panjang. Sebuah tinjauan menyebutkan perlunya informasi lebih lanjut mengenai efektivitas biaya dan pengaruh pada kelompok etnis. Hasil menunjukkan bahwa hanya sedikit pasien yang diklasifikasikan ke kategori risiko lebih tinggi. Studi menekankan pentingnya uji coba yang lebih terencana dalam evaluasi dampak tes ini.

Tes pengklasifikasi gen (GC) untuk kanker prostat (PCa) dapat memengaruhi keputusan pengobatan meskipun tidak memiliki bukti hasil jangka panjang yang komprehensif. Tinjauan sistematis menunjukkan bahwa tes ini memiliki pengaruh, namun tidak memberikan hasil yang optimal. Ada kebutuhan mendesak untuk data yang lebih baik tentang efektivitas biaya dan dampak pada kelompok etnis, terutama pria kulit hitam. Beberapa studi berbasis Genomic Prostate Score (GPS) menunjukkan hanya sedikit pasien yang diklasifikasikan menjadi kategori risiko lebih tinggi.

Studi yang diterbitkan dalam Annals of Internal Medicine ini dipimpin oleh Amir Alishahi Tabriz, MD, PhD, dari Moffitt Cancer Center. Peneliti lainnya berasal dari Durham VA Health Care System. Dalam editorial pendukung, penulis menyatakan bahwa “Perawatan yang dipersonalisasi untuk kanker prostat lokal tetap menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.” Keputusan untuk pengawasan aktif, prostatektomi radikal, atau radioterapi definitif sangat bergantung pada stratifikasi risiko awal yang menggunakan berbagai indikator klinis.

Kanker prostat adalah kanker yang paling umum di kalangan pria dan berkisar dari bentuk yang hampir tidak terlihat hingga yang sangat agresif dan memerlukan perawatan serius. Menentukan jenis perawatan yang dibutuhkan menjadi tantangan besar. Para clinician biasanya bergantung pada pedoman NCCN, namun alat tersebut tidak selalu akurat. Tes genetik seperti Decipher, Prolaris, dan Oncotype DX GPS berpotensi mendeteksi agresivitas tumor yang mungkin terlewatkan oleh alat klinis.

Tim peneliti meninjau 19 studi untuk menilai dampak tes genetik ini pada stratifikasi risiko dan keputusan pengobatan untuk kanker prostat lokal. Meskipun ada variasi antar tes, hasilnya menunjukkan sebagian besar pasien dengan risiko rendah tidak mengalami peningkatan klasifikasi risiko setelah tes GC. Studi berbasis GPS menunjukkan hanya 0-11,9% pasien yang diklasifikasikan ke kategori risiko lebih tinggi, sementara studi berbasis Decipher menunjukkan 12,8% hingga 17,1% reklassifikasi risiko lebih tinggi.

Uji coba acak menunjukkan tingkat reklasifikasi risiko lebih tinggi dibandingkan studi observasional. Analisis menunjukkan bahwa pengujian GC lebih sering menghasilkan manajemen konservatif seperti pengawasan aktif. Penelitian menekankan perlunya uji coba yang dirancang dengan baik untuk mengevaluasi dampak tes GC dalam pengelolaan kanker prostat untuk membantu pengambilan keputusan pasien-dokter.

Pentingnya pengklasifikasi gen kanker prostat berkembang seiring meningkatnya sejumlah pria yang didiagnosis dengan kanker ini. Gap dalam pemahaman biaya dan manfaat jangka panjang dari metode ini dibahas, terutama dampaknya pada pria Black yang mungkin memiliki agresivitas penyakit lebih tinggi. Meskipun berbagai tes menunjukkan potensi dalam stratifikasi risiko, tantangan tetap ada pada konsistensi dan pedoman klinis yang dapat membimbing penggunaannya dalam praktik.

Ulasan menunjukkan bahwa penilaian menggunakan tes pengklasifikasi gen tidak selalu memberikan hasil terbaik untuk pemangku kepentingan dalam pengobatan kanker prostat. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memverifikasi efektivitas alat ini dalam membuat keputusan medis. Hasil menunjukkan bahwa meskipun tes ini penting, ada kekurangan dalam data yang diperlukan untuk aplikasi klinis yang bisa diandalkan.

Sumber Asli: www.insideprecisionmedicine.com

Clara Wang

Clara Wang is a distinguished writer and cultural commentator who specializes in societal issues affecting marginalized communities. After receiving her degree from Stanford University, Clara joined the editorial team at a prominent news outlet where she has been instrumental in launching campaigns that promote diversity and inclusion in journalism.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *