Kanker ovarium, khususnya yang metastatik, membutuhkan pendekatan pengobatan baru karena ketidakmampuannya untuk merespons terapi standar. Penelitian terbaru mengidentifikasi bahwa penurunan protein TAGLN2 dalam sel T berkontribusi pada pengambilan lipid yang terganggu, sehingga mengurangi respons imun. Melalui pengembangan sel T yang rekayasa genetik, ilmuwan telah menemukan terapi yang dapat memperlambat pertumbuhan tumor dan diharapkan menjadi model untuk pengobatan kanker lainnya.
Kanker ovarium, terutama yang metastatik, sulit diobati dan sering resisten terhadap pengobatan standar seperti operasi dan kemoterapi. Meskipun ovarium telah diangkat, sel kanker dapat tetap ada dan menimbulkan masalah. Dalam kondisi ini, sistem kekebalan tubuh menjadi tidak berfungsi dengan baik. Menurut Roddy O’Connor, imunolog di Universitas Pennsylvania, kanker ovarium menciptakan mikro lingkungan yang berbahaya bagi sel T, yang kehilangan kemampuannya untuk membunuh sel kanker.
Penelitian di Weill Cornell Medicine menunjukkan bahwa jalur molekuler yang mengatur pengambilan lemak terganggu dalam sel T saat kanker ovarium berkembang. Para ilmuwan merancang terapi yang menargetkan jalur ini dan menemukan bahwa terapi tersebut meningkatkan penghapusan kanker ovarium metastatik, yang dapat membantu dalam pengembangan imunoterapi generasi berikutnya. Juan Cubillos-Ruiz dari Weill Cornell tertarik pada perubahan metabolisme sistem kekebalan saat kanker muncul.
Dalam penelitian tersebut, Sung-Min Hwang menemukan bahwa protein transgelin 2 (TAGLN2), yang penting untuk pengorganisasian sitoskeleton, tereduksi secara signifikan dalam sel T dari tumor ovarium. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa TAGLN2 berperan dalam pengambilan lipid pada sel T. Sel T dari pasien kanker ovarium mengalami gangguan dalam pengambilan lipid dibandingkan dengan sel T dari kontrol sehat.
Melalui percobaan, tim menemukan bahwa TAGLN2 dan protein pembawa asam lemak 5 (FABP5) berpasangan secara biologis. Dalam sel T dari pasien kanker ovarium, kurangnya TAGLN2 menyebabkan tidak berfungsinya FABP5 yang berakibat pada pengurangan pengambilan asam lemak. Penelitian juga menunjukkan bahwa stres yang dihasilkan lingkungan kanker menyebabkan faktor transkripsi XBP1 mengurangi ekspresi TAGLN2, menghalangi pengambilan lipid yang diperlukan untuk respons imun yang optimal.
Dengan pemahaman yang lebih jelas mengenai mekanisme ini, Cubillos-Ruiz dan Hwang merancang terapi baru menggunakan sel T yang direkayasa secara genetik, yaitu sel T Reseptor Antigen Chimeric (CAR). Mereka mengembangkan sel CAR yang dikenal sebagai sel CER untuk menargetkan sel kanker ovarium, dengan mengekspresikan TAGLN2. Hasilnya menunjukkan bahwa sel CER mampu memperlambat pertumbuhan tumor pada tikus.
Kubillos-Ruiz berharap temuan ini dapat digunakan untuk merancang terapi imun yang lebih baik tidak hanya untuk kanker ovarium, tetapi juga untuk jenis kanker solid lainnya seperti kanker payudara atau pankreas. Hwang juga tertarik meneliti proses biologis lain yang dapat digunakan untuk meningkatkan efektivitas terapi CAR T di masa depan.
Kanker ovarium merupakan penyakit yang sulit diobati, khususnya dalam tahap metastatik, di mana sel-sel kanker dapat bersikeras bertahan meski obat-obatan seperti kemoterapi telah diberikan. Lingkungan tumor mengubah fungsi sel-sel kekebalan tubuh, menyebabkan imunitas yang lemah terhadap kanker. Penelitian terbaru berfokus pada bagaimana jalur metabolik, khususnya pengambilan lemak dalam sel T, dapat mempengaruhi kemampuan sistem imun dalam mengatasi kanker ovarium.
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa gangguan dalam mekanisme pengambilan lipid di sel T berperan penting dalam respons imun terhadap kanker ovarium. Terapi baru yang menggabungkan modifikasi genetik pada sel T diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dalam melawan kanker ovarium dan dapat diperluas untuk jenis kanker lainnya di masa depan.
Sumber Asli: www.drugdiscoverynews.com