Penulis, seorang dokter, tidak merasa bahwa diagnosis kanker membuatnya menjadi dokter yang lebih baik. Ia merasa kesulitan untuk menulis tentang pengalaman tersebut, berbeda dengan dokter lain yang mengklaim memperoleh empati lebih setelah diagnosis kanker.
Beberapa bulan lalu, saya mengalami penolakan saat mencoba menulis tentang pengalamanku sebagai wanita yang berusaha menyembunyikan diagnosis kanker saya. Sebuah media besar meminta saya untuk menulis tentang apa yang saya pelajari tentang kanker payudara sebagai pasien dibandingkan sebagai dokter.
Melihat permintaan itu, saya menutup laptop dan merasa tertekan. Beberapa waktu kemudian, saya melihat bahwa media tersebut akhirnya menerbitkan tulisan lain oleh dokter yang berbeda, menjelaskan bagaimana pengalamannya dengan kanker payudara membuatnya menjadi dokter yang lebih baik. Namun, saya tidak bisa menulis tentang bagaimana saya menjadi dokter yang lebih empatik setelah diagnosis kanker saya, karena hal itu tidak benar.
Artikel ini membahas pengalaman penulis sebagai dokter dan pasien kanker. Penulis merasa tidak dapat mengaitkan diagnosis kanker dengan peningkatan empati atau keterampilan medis. Sebaliknya, ia menyoroti tantangan emosi yang dihadapi tanpa menemukan peningkatan kompetensi sebagai dokter.
Menjadi pasien kanker tidak menjadikan penulis sebagai dokter yang lebih baik. Ia merasa tertekan ketika diminta untuk menulis tentang pengalaman tersebut, dan percaya bahwa pengalaman tidak selalu menghasilkan empati yang lebih besar.
Sumber Asli: www.bendbulletin.com
