Studi terbaru menemukan bahwa individu muda dengan kanker yang tinggal di lingkungan redlined memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah, baik dalam lima maupun sepuluh tahun setelah diagnosis. Penelitian ini menyoroti racun rasisme yang dapat mempengaruhi hasil kesehatan pasien kanker muda.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Cancer menunjukkan bahwa individu muda dengan kanker yang tinggal di lingkungan redlined memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah. Peneliti dari Universitas Washington mempelajari data pasien berusia di bawah 40 tahun dengan kanker di Seattle dan Tacoma dari tahun 2000 hingga 2019. Hasilnya menunjukkan kelangsungan hidup lima tahun 85,1% di kawasan redlined dibandingkan 90,3% di kawasan lain.
Pada tahun kesepuluh, perbedaan kelangsungan hidup ini tetap terlihat. Individu dengan kanker di area redlined menunjukkan rasio bahaya kematian yang lebih tinggi (rasio bahaya 1,62), berlanjut hingga model penyesuaian penuh yang menunjukkan rasio bahaya 1,32. Penelitian tidak menemukan modifikasi efek dari tingkat kemiskinan di wilayah tersebut terhadap hubungan antara redlining dan kematian.
Redlining adalah praktik diskriminatif yang terjadi hampir satu abad lalu, di mana beberapa daerah ditandai sebagai tidak layak untuk investasi. Akibatnya, penduduk di area tersebut cenderung mengalami ketidakadilan sosial dan kesehatan, termasuk di dalamnya pasien kanker yang lebih muda. Penelitian ini memberikan pemahaman bahwa dampak jangka panjang dari redlining memengaruhi masa depan kesehatan individu dalam komunitas yang terkena dampak.
Temuan dari penelitian ini menggarisbawahi dampak buruk dari redlining terhadap individu muda dengan kanker. Masyarakat yang tinggal di area yang pernah redlined menunjukkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah dan risiko kematian yang lebih tinggi. Ini mengindikasikan adanya masalah struktural yang berakar pada rasisme yang perlu diatasi untuk meningkatkan hasil kesehatan bagi pasien kanker muda.
Sumber Asli: www.physiciansweekly.com