Pria sebaiknya berpikir sebelum meminta tes PSA, karena hanya satu kematian kanker prostat dapat dicegah dari 1.000 tes. Skrining tersebut tidak menurunkan tingkat kematian secara signifikan. Pilihan perawatan termasuk pembedahan, radioterapi, dan pemantauan aktif, dengan efektivitas yang hampir sama di antara ketiganya.
Pria yang khawatir tentang kanker prostat perlu mempertimbangkan dengan hati-hati sebelum meminta tes PSA (Prostate Specific Antigen) kepada dokter. Sebuah ulasan pada tahun 2018 menunjukkan, untuk mencegah satu kematian akibat kanker prostat, sekitar 1.000 pria perlu dites PSA dalam periode sepuluh tahun. Selain itu, tumben hasil studi Eropa pada 2019 mengungkapkan bahwa 570 pria harus diundang untuk skrining agar satu kematian kanker prostat dapat dicegah. Ini adalah alasan mengapa Inggris tidak memiliki program skrining prostat.
Bagi pria yang memilih untuk melakukan tes PSA dan didiagnosis kanker, mereka menghadapi pilihan perawatan yang sulit: pembedahan, radioterapi, atau pemantauan rutin tanpa perawatan langsung. Studi British ProtecT menyebutkan bahwa setelah 15 tahun, 356 dari 1.610 pria yang didiagnosis meninggal, 45 di antaranya akibat kanker prostat. Tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat kematian antara ketiga pilihan perawatan.
Prostate cancer merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Inggris, di mana jumlah diagnosis kanker prostat meningkat. Kebangkitan perbincangan mengenai tes PSA dan penyadaran akan risiko kanker prostat memicu debat tentang keefektifan skrining. Penelitian menunjukkan bahwa tes PSA tidak secara penting mengurangi angka kematian akibat kanker prostat, yang menjadi alasan tidak adanya program tes skrining resmi di Inggris.
Berdasarkan bukti ilmiah, penting bagi pria untuk berpikir panjang sebelum meminta tes PSA. Ada risiko yang harus dipertimbangkan serta pilihan perawatan yang beragam setelah diagnosis, yang tidak menunjukkan keuntungan signifikan dalam pengurangan kematian. Kesadaran dan pemahaman yang mendalam tentang data yang tersedia sangat penting dalam pengambilan keputusan terkait kesehatan ini.
Sumber Asli: www.theguardian.com