Tim peneliti dari Osaka menemukan bahwa hubungan antara BMI dan risiko kematian dalam pengobatan kanker paru-paru bervariasi tergantung pada terapi yang digunakan. Mereka menyarankan bahwa kebangkitan paradigma pengobatan harus mempertimbangkan BMI serta faktor lain untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam kedokteran presisi.
Studi yang dipimpin oleh Yasutaka Ihara dari Universitas Metropolitan Osaka menemukan bahwa risiko kematian bagi pasien kanker paru-paru tergantung pada indeks massa tubuh (BMI) mereka. Tim menggunakan database klaim administratif Jepang yang mencakup lebih dari 500.000 pasien. Meskipun pasien obesitas cenderung memiliki risiko kematian lebih rendah selama terapi kanker, hal ini tidak selalu berlaku untuk semua jenis terapi.
Ihara menjelaskan bahwa “Immunotherapy mungkin tidak selalu menjadi metode pengobatan optimal bagi pasien obesitas kanker paru non-sel kecil lanjutan”, menyarankan bahwa kemoterapi konvensional juga perlu dipertimbangkan. Faktor lain seperti usia, hormon, dan mikrobiota usus juga memengaruhi efektivitas immunotherapy, yang dapat membantu dalam pengembangan kedokteran presisi.
Penelitian ini terbit di jurnal JAMA Network Open, yang menyampaikan bahwa perlunya evaluasi menyeluruh untuk menentukan apakah immunotherapy atau kemoterapi konvensional lebih baik dalam meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan memperhitungkan faktor-faktor tersebut.
Penelitian ini berfokus pada hubungan antara BMI dan risiko kematian pada pasien kanker paru-paru, terutama dalam konteks pengobatan imunoterapi dan kemoterapi konvensional. Fenomena “obesity paradox” mengindikasikan bahwa pasien obesitas mungkin memiliki risiko kematian yang lebih rendah saat menjalani terapi kanker, meskipun ini mungkin tidak berlaku untuk semua terapi. Artikel ini mendalami data pasien untuk memahami siapa yang sebaiknya menerima jenis pengobatan tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa BMI berperan penting dalam menentukan jenis terapi kanker yang optimal bagi pasien obesitas. Meskipun obesitas sering kali dikaitkan dengan risiko penyakit yang lebih tinggi, pasien ini mungkin tidak selalu mendapat manfaat dari imunoterapi. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi faktor lain yang juga dapat meningkatkan efektivitas pengobatan.
Sumber Asli: www.technologynetworks.com