Peneliti di Johns Hopkins Universitas mengembangkan model komputer untuk mendeteksi sel T tumor aktif. Model ini membantu identifikasi sel yang merespons imunoterapi dan menggunakan data dari tiga gen. Para peneliti berharap dapat menciptakan tes untuk membantu memandu terapi kanker pada pasien.
Peneliti di Johns Hopkins University School of Medicine telah mengembangkan model komputer sederhana untuk mendeteksi sel T tumor aktif, yang diaktifkan oleh imunoterapi penghambat checkpoint. Model ini menggunakan informasi dari tiga gen (CXCL13, ENTPD1, dan IL7R) untuk menemukan sel T aktif. Tim kini tengah menyusun tes untuk identifikasi sel yang merespons terapi pada pasien kanker yang menjalani imunoterapi.
“Kami telah mengembangkan cara untuk mengidentifikasi sel-sel yang ditargetkan langsung oleh penghambat checkpoint imun, dan jika kami dapat mengidentifikasinya, kami bisa mempelajarinya,” kata Kellie Smith, penulis utama studi dan profesor asosiasi onkologi di Johns Hopkins. “Dengan pemahaman ini, kami dapat menemukan biomarker dan target yang lebih baik untuk kombinasi imunoterapi.”
Sejak Januari 2025, FDA telah menyetujui 12 penghambat checkpoint imun untuk berbagai jenis kanker. Sembilan dari obat ini merupakan penghambat PD-1 (seperti pembrolizumab atau nivolumab) atau PD-L1 (seperti atezolizumab). Penghambat checkpoint bekerja dengan memblokir protein pada sel T, memungkinkan sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel kanker.
Namun, tingkat respons untuk obat ini dapat bervariasi, dengan beberapa pasien merespons dengan baik dan lainnya tidak. Penelitian masih terus dilakukan untuk memahami perbedaan respons ini, dan memiliki tes akurat untuk memprediksi respons dapat sangat membantu.
Smith dan tim sebelumnya menemukan pola ekspresi gen spesifik pada sel T yang diaktifkan dari pasien kanker paru-paru. Dalam studi ini, mereka mengembangkan model bernama MANAscore yang lebih sederhana daripada model yang ada, hanya menggunakan tiga gen dibandingkan lebih dari 200 gen di model lain. “Model kami memungkinkan penghindaran proses identifikasi sel yang memakan waktu dan biaya,” tambah Smith.
Tim juga menemukan bahwa pasien yang merespons pengobatan memiliki proporsi sel T memori mirip batang yang lebih tinggi. “Karakteristik mirip batang ini krusial karena memungkinkan peremajaan dan ketahanan jangka panjang,” jelas Zhen Zeng, PhD, penulis pertama dan rekan peneliti bioinformatika di Kimmel Cancer Center.
Tim berencana untuk mengembangkan tes yang dapat digunakan oleh dokter untuk membantu memandu perawatan kanker dengan mengenali apakah pasien memiliki sel T responsif tumor setelah pengobatan.
Model komputer yang dikembangkan oleh peneliti ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman akan efektivitas imunoterapi dengan cara mendeteksi sel T aktif yang dipicu oleh penghambat checkpoint. Dengan menyederhanakan proses identifikasi sel, tim memperkirakan dapat memberikan panduan lebih baik mengenai respons pasien terhadap terapi. Ini menjadi penting mengingat perbedaan tingkat respons pada obat yang sama di antara pasien yang berbeda.
Model yang dikembangkan oleh Johns Hopkins University ini bertujuan untuk mempermudah identifikasi sel T aktif pada pasien kanker. Dengan menggunakan hanya tiga gen, model ini dapat memberikan wawasan lebih baik tentang siapa yang kemungkinan besar akan merespon terapi imunoterapi. Dukungan dari data genetik akan membantu dokter dalam mendiagnosis dan merencanakan pengobatan yang efektif.
Sumber Asli: www.insideprecisionmedicine.com