Penelitian menunjukkan bahwa siklus reproduksi tikus berdampak pada respons mereka terhadap kemoterapi. Mice yang dirawat selama tahap estrus menunjukkan kematian sel kanker yang lebih besar daripada yang dirawat selama diestrus. Penemuan ini mengindikasikan pentingnya mempertimbangkan hormonal dalam strategi perawatan kanker.
Pada tahun 2016, Colinda Scheele, seorang biolog kanker dari Catholic University Leuven, meneliti pengaruh kemoterapi terhadap sel kanker payudara pada tikus. Dia menemukan bahwa beberapa subtipe sel tidak selalu merespon terhadap obat, yang memicu pertanyaan apakah siklus menstruasi, atau siklus estrus pada tikus, bisa menjadi penyebab ketidakkonsistenan tersebut. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa siklus reproduksi tikus dapat mempengaruhi sensitivitas mereka terhadap kemoterapi.
Tim peneliti menganalisis data pasien dan menyimpulkan bahwa variasi hormonal harus dipertimbangkan dalam pengoptimalan hasil perawatan kanker. Hasil ini dapat mengubah cara terapi kanker payudara dilakukan. Tikus betina mengalami siklus estrus selama empat hingga lima hari, yang mengatur fase subur dan tidak subur.
Selama tahap estrus, sel-sel di kelenjar payudara berkembang dan selama diestrus, terjadi kematian sel jika tidak ada kehamilan. Peneliti mencatat bahwa tumor yang diobati selama tahap estrus menunjukkan lebih banyak kematian sel kanker dibandingkan yang diobati selama diestrus, mer suggestingkan pengaruh siklus estrus terhadap respons kemoterapi.
Dalam percobaan lain, para peneliti menemukan bahwa pengobatan yang diterima selama tahap estrus meningkatkan hasil terapeutik, di mana tikus tersebut memiliki tumor yang mengecil dan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Pengamatan ini membuka kemungkinan untuk merancang terapi kanker yang lebih efektif dengan mempertimbangkan siklus menstruasi pasien.
Peneliti juga menilai data historis pasien kanker payudara untuk memahami pengaruh siklus menstruasi terhadap kemoterapi. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang memulai kemoterapi selama tahap progesteron rendah memiliki respons yang lebih baik dibandingkan yang memulai selama tahap progesteron tinggi. Temuan ini menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut mengenai siklus menstruasi dalam konteks perawatan kanker.
Scheele menyatakan bahwa meskipun pengaruh siklus reproduksi dalam terapi kanker tidak mengejutkan, hal ini sering terabaikan dalam penelitian. Ingman, seorang peneliti kesehatan wanita, menekankan pentingnya memahami dampak siklus menstruasi terhadap pengobatan. Penelitian masa depan diharapkan dapat menjelaskan lebih dalam tentang pengaruh siklus ini dibandingkan dengan hasil yang sudah ada.
Penelitian ini menyoroti pengaruh hormonal pada respons sel kanker terhadap kemoterapi. Siklus estrus tikus, yang berbeda dari siklus menstruasi manusia, memengaruhi perilaku sel tumor dan tingkat kematian sel. Memahami interaksi antara hormon dan terapi dapat mengubah praktik klinis dan meningkatkan hasil untuk pasien kanker payudara. Dengan melakukan analisis yang tepat, peneliti berharap untuk menentukan strategi pengobatan yang lebih efektif dan mempertimbangkan fase siklus menstruasi dalam perawatan kanker.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa siklus menstruasi dapat mempengaruhi efektivitas kemoterapi pada pasien kanker. Mengoptimalkan waktu pengobatan sesuai dengan fase hormonal pasien dapat meningkatkan hasil perawatan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menerapkan penemuan ini dalam praktik klinis, dengan tujuan memperbaiki cara pengobatan kanker di masa depan.
Sumber Asli: www.the-scientist.com