Pendekatan standar untuk deteksi kanker prostat dianggap terlalu lemah. Penulis menceritakan pengalaman pribadi tentang penolakan tes PSA dan bagaimana banyak pria yang mungkin tidak terdiagnosis kanker agresif. Pedoman baru membebankan keputusan skrining kepada pasien, berisiko mengabaikan pria dengan kanker berbahaya.
Sebuah refleksi menunjukkan bahwa pendekatan standar dalam deteksi kanker prostat mungkin terlalu longgar. Saat mendiagnosis kanker prostat metastatik, penulis mengungkapkan bahwa keputusan untuk tidak melakukan skrining PSA mengakibatkan banyak pria tidak terdeteksi kanker agresif yang berpotensi fatal.
Pada 2012, penulis meminta dokter untuk melakukan tes PSA saat pemeriksaan fisik tahunan. Namun, dokter menolak dan menyatakan bahwa lebih sedikit pria yang meninggal dunia akibat kanker prostat dibandingkan dengan penyebab lainnya. Dia merujuk pada pedoman USPSTF yang menyarankan untuk tidak melakukan skrining, berdalih bahwa informasi tersebut hanya membahayakan pasien tanpa adanya manfaat yang signifikan.
Penelitian menunjukkan bahwa walaupun banyak pria tidak mati karena kanker prostat, mereka yang menderita bentuk agresif memiliki kemungkinan hidup yang jauh lebih pendek dan memerlukan perawatan yang lebih intensif. Meskipun setelah 2012, jumlah kanker prostat yang didiagnosis menurun, terdapat peningkatan kasus kanker agresif yang diidentifikasi.
Pada 2018, USPSTF merevisi pedoman tersebut, memperkenalkan pendekatan “pengambilan keputusan bersama” dimana keputusan untuk skrining diserahkan kepada pasien, dengan dokter memberikan informasi terbatas. Ini memberikan dokter kelonggaran dari tanggung jawab atas hasil yang buruk bagi pasien.
Refleksi ini menunjukkan potensi bahaya dalam pedoman skrining kanker prostat yang terlalu ketat. Meskipun ada klaim bahwa skrining dapat menyebabkan lebih banyak kerugian dibandingkan manfaat, ada pria yang menderita kanker agresif yang mestinya terdeteksi lebih awal. Pedoman baru memberikan pasien peran aktif namun tetap menyisakan potensi risiko tanpa bimbingan dokter yang memadai.
Sumber Asli: www.startribune.com