Penelitian terbaru mengaitkan E. coli dengan kanker kolorektal di dewasa muda. Kolibaktin, racun yang diproduksi oleh beberapa strain E. coli, ditemukan merusak DNA. Penelitian ini menyarankan bahwa paparan terjadi di tahun-tahun awal hidup, dengan potensi untuk mendeteksi risiko kanker lebih awal. Upaya sedang dilakukan untuk menciptakan tes deteksi dini dari mutasi kolibaktin.
Penelitian terbaru menunjukkan potensi faktor risiko baru untuk kanker kolorektal pada orang dewasa muda, yaitu adanya bakteri Escherichia coli (E. coli) dalam usus semasa anak-anak. Meski kebanyakan strain E. coli tidak berbahaya dan bermanfaat, beberapa strain dapat memproduksi racun bernama kolibaktin yang bisa merusak DNA manusia. Menurut majalah Nature, kerusakan DNA terkait kolibaktin adalah ciri khas pada dewasa muda yang terdiagnosis kanker kolorektal di bawah usia 40 dibandingkan mereka yang didiagnosis setelah usia 70 tahun.
Temuan ini menunjukkan adanya kemungkinan bahwa paparan bakteri beracun ini terjadi pada 10 tahun pertama kehidupan. Anak-anak dengan infeksi yang menghasilkan mutasi di kolon mereka berisiko lebih tinggi mengembangkan kanker kolorektal saat dewasa muda. Dr. Alexandrov dan timnya sedang mencari cara untuk menciptakan tes deteksi awal yang bisa menganalisis sampel tinja untuk menemukan mutasi terkait kolibaktin. Identifikasi individu muda yang berisiko tinggi ini bisa membuka jalan baru untuk pencegahan, pemantauan, dan pengobatan kanker.
Menyoroti meningkatnya kasus kanker kolorektal pada orang dewasa muda, John Marshall, MD, dari Colorectal Cancer Alliance, mengungkapkan bahwa situasi ini menjadi perhatian serius. Para peneliti seperti Dr. Alexandrov dan Marshall tengah meneliti bagaimana mikrobioma usus dapat berkontribusi dalam perkembangan kanker, khususnya terkait dengan pola racun.
Dalam studi mereka, peneliti menganalisis DNA tumor kanker kolorektal dari 981 pasien dengan penyakit awal dan akhir di 11 negara. Hasil menunjukkan bahwa mutasi DNA terkait kolibaktin lebih umum tiga kali lipat pada kasus awal dibandingkan dengan diagnosis setelah usia 70 tahun. “Pola mutasi ini memberikan gambaran tentang paparan awal pada kolibaktin sebagai penggerak penyakit awal,” kata Dr. Alexandrov.
Hasil ini juga dianggap menarik oleh Cathy Eng, MD, di Vanderbilt-Ingram Cancer Center, meski dia tidak terlibat langsung dalam penelitian. Menurutnya, ini memberi jalan untuk mengidentifikasi kemungkinan perkembangan kanker jauh sebelum gejala muncul. “Sebuah adenoma biasanya memerlukan waktu 5 sampai 10 tahun untuk menjadi kanker,” tuturnya.
Namun, penyebab pasti yang memicu infeksi E. coli masih belum sepenuhnya jelas. Mariana Byndloss, PhD, yang mempelajari efek bakteri E. coli yang berbahaya, mencurigai bahwa penggunaan antibiotik dan pola makan yang tidak sehat dapat berperan. “Bakteri bisa resisten terhadap antibiotik, dan antibiotik juga bisa membunuh mikrob yang baik,” jelasnya.
Faktor lain seperti tidak menyusui dan persalinan caesar juga dapat meningkatkan risiko, menurut Marshall. Dia menambahkan bahwa anak-anak saat ini mungkin kurang terpapar lingkungan mereka dan kurang bermain di luar, yang dapat mengurangi keragaman mikrobioma mereka. Di sisi lain, sementara kolibaktin mungkin berkontribusi terhadap kanker kolorektal, Eng menekankan bahwa penyebab penyakit ini multi-faktorial dan memerlukan lebih banyak penelitian untuk memvalidasi hasil saat ini.
Sebagai langkah pencegahan, Eng menyarankan agar individu muda dan penyedia layanan kesehatan mengetahui tanda-tanda kanker kolorektal prognosis awal, agar mereka bisa menjalani tes skrining seperti kolonoskopy untuk menghilangkan polip yang mungkin ada.
Penelitian ini mengungkap hubungan mencolok antara bakteri E. coli, khususnya kolibaktin, dan peningkatan risiko kanker kolorektal di kalangan orang dewasa muda. Dengan potensi pengembangan metode deteksi dini dan pemahaman lebih lanjut terkait mikrobioma, harapannya adalah bisa menemukan cara baru untuk mencegah dan mengobati kanker ini. Penyuluhan juga sangat penting bagi masyarakat guna mengenali tanda awal dan melakukan skrining yang tepat untuk pencegahan lebih lanjut.
Sumber Asli: www.everydayhealth.com