Joe Biden terdiagnosis kanker prostat mendorong perdebatan skrining kanker pada pria. Kanker prostat adalah kanker kedua paling umum di AS, dengan satu dari delapan pria terdiagnosis. Namun, tes PSA tidak sepenuhnya akurat dan menimbulkan risiko diagnosis berlebih. Pendapat berbeda di kalangan dokter dan ahli kesehatan mengenai perlu tidaknya skrining rutin bagi pria paruh baya.
Topik pemeriksaan kanker prostat bagi pria kembali mencuat setelah Joe Biden mengumumkan bahwa ia didiagnosis dengan penyakit ini. Di Amerika, kanker prostat merupakan jenis kanker kedua yang paling umum, di belakang kanker payudara. Statistik menunjukkan satu dari delapan pria akan terdiagnosis setelah melewati usia tertentu. Namun, kasus baru seperti Sir Chris Hoy, yang terdiagnosis kanker agresif pada usia 48, menunjukkan bahwa kanker ini bisa menyerang pria muda juga.
Ada pertanyaan besar di kalangan dokter mengenai pentingnya skrining bagi pria paruh baya. Sehabis pengumuman Sir Chris, layanan kesehatan Inggris memutuskan untuk meninjau rekomendasinya yang saat ini tidak mendorong skrining. Dikatakan bahwa pemeriksaan terakhir Biden dilakukan pada tahun 2014. Walaupun screening kanker ini terdengar penting, banyak dokter masih ragu.
Salah satu masalah utama adalah ketidakakuratan tes utama, yang mengukur tingkat antigen spesifik prostat (PSA) dalam darah. Walaupun kadar PSA tinggi bisa menunjukkan adanya kanker, aktivitas fisik atau kegiatan seksual sebelumnya juga bisa memengaruhi hasilnya. Tingkat positif palsu sekitar 75%, sementara tingkat negatif palsu diperkirakan mencapai 15%. Oleh karena itu, dokter biasanya melakukan biopsi untuk memverifikasi hasil PSA yang tinggi.
Naser Turabi dari Cancer Research UK mencatat bahwa apabila kanker terdeteksi, sekitar 20% kasus memerlukan terapi agresif. Namun banyak tumor prostat berkembang lambat, membuat banyak pria lebih mungkin untuk hidup dengan kanker ini daripada mati karenanya. Hal ini menjadi alasan mengapa beberapa dokter berpendapat bahwa pria di atas 70 tahun sebaiknya tidak menjalani skrining. Ada kekhawatiran bahwa skrining massal dapat menyebabkan banyak diagnosis dan pengobatan yang tidak perlu.
Sebua penelitian besar di Inggris menunjukkan bahwa tingkat kel存يات selama 15 tahun untuk pria dengan kanker yang tidak menyebar adalah sekitar 97%, baik setelah menjalani operasi, terapi radiasi, maupun tidak ada pengobatan sama sekali. “Watchful waiting” menjadi cara paling konservatif, namun tetap sulit bagi beberapa pasien untuk menerimanya dan lebih memilih menjalani pengobatan.
Perbedaan pendapat mengenai skrining rutin terus berlanjut antara dokter dan pemerintah. Seiring dengan kemajuan teknologi, proyeksi ini mungkin berubah. Saat ini, banyak pria dengan tingkat PSA tinggi ditawarkan pemeriksaan MRI sebelum biopsi. Harapan juga ada pada urutan genom untuk menilai risiko individu. Namun, karena waktu bertahan hidup yang lama, data yang baik mengenai perbaikan dalam kelangsungan hidup sering kali tertinggal oleh kemajuan klinis.
Sebagai kesimpulan, bagi pria di usia paruh baya, cara terbaik—walaupun tidak memuaskan—adalah berkonsultasi dengan dokter, berpikir dengan hati-hati, serta mempertimbangkan berbagai risiko yang mungkin timbul jika memilih untuk melanjutkan skrining.
Debat soal skrining kanker prostat bagi pria paruh baya sangat kompleks. Meskipun kalau dilihat dari statistik, lebih banyak pria yang terdiagnosis setiap tahun, keakuratan tes PSA yang rendah menjadi masalah utama. Pilihan untuk melakukan skrining harus diambil dengan hati-hati setelah berkonsultasi dengan dokter, sambil mempertimbangkan potensi risiko atau manfaat.
Sumber Asli: www.hindustantimes.com