Perdebatan Skrining Kanker Prostat: Apakah Pria Perlu Diperiksa?

Kasus kanker prostat terus memicu debat, setelah Joe Biden diumumkan menderita kanker ini. Banyak dokter meragukan skrining rutin karena tes PSA yang tidak dapat diandalkan. Hanya sedikit kasus yang memerlukan pengobatan agresif, dan keputusan tentang skrining untuk pria paruh baya perlu dipertimbangkan dengan bijak.

Diskusi mengenai apakah pria harus menjalani skrining untuk kanker prostat kembali mengemuka, terutama setelah pengumuman Joe Biden mengenai diagnosisnya. Di Amerika, kanker prostat menjadi jenis kanker kedua paling umum setelah kanker payudara, dengan satu dari delapan pria diperkirakan akan terkena penyakit ini dalam hidup mereka. Usia, riwayat keluarga, dan etnisitas pria kulit hitam adalah beberapa faktor risiko utama.

Kasus terkenal, seperti yang dialami Sir Chris Hoy, menunjukkan bahwa bahkan pria muda yang tampak sehat bisa terjangkit penyakit ini. Pengumuman Sir Chris tentang bentuk kanker prostat yang agresif dan terminal pada usia 48, di luar dugaan, memicu diskusi di Inggris mengenai penanganan skrining. Saat ini, layanan kesehatan Inggris tidak merekomendasikan skrining rutin, meski ketidakpastian tetap ada.

Skrining kanker prostat umumnya menggunakan tes yang mengukur kadar antigen spesifik prostat (PSA) dalam darah. Sayangnya, tes ini memiliki tingkat keandalan yang diragukan; misalnya, tingkat positif palsu sekitar 75%, sedangkan tingkat negatif palsu mencapai 15%. Jika hasilnya tinggi, dokter biasanya akan merekomendasikan biopsi untuk konfirmasi diagnosis.

Selain itu, hanya 20% dari kasus kanker prostat yang terdeteksi memerlukan pengobatan intensif. Banyak tumor tumbuh lambat dan tidak berbahaya bagi pasien, sehingga banyak dokter berpendapat bahwa pria di atas 70 tahun sebaiknya tidak menjalani skrining. Pengobatan memang dapat membawa efek samping yang berat, seperti inkontinensia urin dan masalah seksual. Hal ini juga mendorong kekhawatiran mengenai diagnosis berlebih dan pengobatan kanker yang sebenarnya tidak mematikan.

Sebuah penelitian besar di Inggris menemukan bahwa tingkat kel存生 15 tahun untuk pria dengan kanker lokal hampir identik—sekitar 97%, terlepas metode pengobatan yang dipilih. Pendekatan “watchful waiting” atau menunggu sambil memantau kondisi menjadi pilihan yang lebih konservatif, meski sering sulit bagi pasien secara psikologis untuk menunggu dan tidak diobati.

Opini di kalangan dokter dan pemerintah pun beragam mengenai kepentingan skrining rutin. Teknologi baru seperti MRI sebelum biopsi sudah mulai diperkenalkan. Di sisi lain, pengurutan genom diharapkan dapat memperkirakan risiko bagi pasien. Namun, data yang jelas mengenai efektivitas maupun dampak pengobatan sangat lambat muncul, mengingat waktu kelangsungan hidup yang panjang bagi pengidap. Oleh karena itu, bagi pria paruh baya, saran terbaik adalah berkonsultasi dengan dokter dan mempertimbangkan pro dan kontra skrining.

Kesimpulannya, risiko dan manfaat skrining kanker prostat masih menjadi perdebatan yang belum terjawab. Meskipun pria rentan mungkin perlu perhatian lebih, banyak dokter berhati-hati dengan pengobatan. Mempertimbangkan efek jangka panjang dan psikologis dari diagnosis, konsultasi dengan dokter menjadi langkah penting bagi pria yang mempertimbangkan skrining.

Sumber Asli: www.hindustantimes.com

Nina Sharma

Nina Sharma is a rising star in the world of journalism, celebrated for her engaging storytelling and deep dives into contemporary cultural phenomena. With a background in multimedia journalism, Nina has spent 7 years working across platforms, from podcasts to online articles. Her dynamic writing and ability to draw out rich human experiences have earned her features in several respected publications, captivating a diverse audience.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *