Urolog Sarankan Pria Tak Hanya Ikuti Tes PSA untuk Deteksi Kanker Prostat

Ahli urologi mengingatkan pria agar tidak mengandalkan tes PSA untuk mendeteksi kanker prostat, karena bisa jadi negatif meski ada penyakit. Penemuan kanker yang lebih agresif pada Joe Biden memicu perhatian. Tes screening yang lebih komprehensif dan kesadaran riwayat keluarga sangat diperlukan.

Ahli kesehatan pria mengingatkan agar pria tidak hanya mengandalkan tes Prostate-Specific Antigen (PSA) untuk mendeteksi kanker prostat. Meskipun tes darah ini bermanfaat, ternyata bisa juga negatif padahal penyakitnya sudah ada. Urolog saat berbicara dengan PUNCH Healthwise, menekankan pentingnya diagnosis yang lebih komprehensif, yang mencakup kombinasi antara tes PSA, pemeriksaan rektal digital, dan biopsi.

Peringatan ini muncul tak lama setelah mantan Presiden AS, Joe Biden, dilaporkan didiagnosis kanker prostat yang sudah menyebar ke tulang. Menurut pernyataan dari kantornya, pengobatan tersebut ditemukan setelah Biden melaporkan gejala urinary, yang membuat dokter menemukan nodul kecil pada prostatnya. Kanker yang dideritanya adalah jenis yang lebih agresif, dan Biden serta keluarganya sedang meninjau pilihan pengobatan.

Kanker prostat adalah suatu kondisi ketika sel-sel tumbuh secara tidak terkendali di kelenjar prostat, yang ukurannya seperti kenari, terletak di bawah kandung kemih pria. Sering kali, kanker ini terdeteksi melalui tes skrining seperti tes darah PSA. Namun, para urolog mengingatkan bahwa tes PSA yang biasa digunakan tidak selalu dapat mendeteksi kanker prostat, apalagi bentuk yang lebih agresif, terutama pada pria dengan riwayat keluarga.

Dr. Gabriel Ogah, seorang konsultan urolog, menjelaskan bahwa meskipun tes PSA adalah metode yang umum untuk skrining kanker prostat, tidak selalu akurat. Ada kalanya, level PSA tetap normal meski seseorang mengidap bentuk kanker yang agresif. “PSA bisa naik, menormalkan, atau tetap tidak berubah meskipun ada kanker. Hasil PSA yang normal tidak selalu berarti bebas kanker prostat.”

Lebih lanjut, Dr. Ogah menjelaskan, “Ada jenis kanker prostat yang tumbuh cepat namun tidak meningkatkan level PSA secara signifikan, ini bisa berbahaya karena sulit terdeteksi hingga stadium lanjut.” Banyak pria keliru mengira mereka bebas kanker hanya karena kadar PSA dalam batas normal, yang dapat mengakibatkan penundaan diagnosis dan pengobatan, terutama dalam kasus cacat genetik atau kanker prostat yang agresif.

Pria dengan riwayat keluarga kanker prostat harus ekstra waspada dan tidak mengandalkan PSA sebagai satu-satunya tes. “Jika ayah, saudara, atau pamanmu terkena kanker prostat, jangan hanya percaya pada PSA saja.”

Dalam sebuah perbandingan, Dr. Ogah mengaitkan situasi ini dengan keputusan Angelina Jolie untuk melakukan operasu pencegahan setelah terdeteksi risko tinggi kanker payudara melalui tes genetik. Prinsip yang sama juga berlaku bagi kanker prostat yang memiliki komponen herediter kuat.

Dia juga memberi peringatan agar tidak mengandalkan informasi medis dari media sosial. “Ketika laporan patologi menunjukkan adanya kanker prostat, penting untuk membahas hasil tersebut dengan urolog bersertifikat. Hanya spesialis yang dapat menginterpretasikan hasil dengan benar.”

Dia merekomendasikan skrining lanjutan seperti profil genetik untuk individu berisiko tinggi. Namun, harus diakui bahwa tidak semua orang di Nigeria mampu membiayai tes tersebut, karena tantangan biaya dan akses.

“Bukan semua orang bisa melakukan tes ini. Banyak orang di Nigeria tidak mampu membayar kebutuhan hidup, apalagi uji medis canggih. Tapi bagi yang mampu dan memiliki riwayat keluarga, hal ini bisa menyelamatkan nyawa.”

Dr. Ogah mendesak agar otoritas kesehatan dan organisasi non-pemerintah memperluas kampanye kesadaran dan memudahkan akses skrining kanker prostat di Nigeria, khususnya di daerah pedesaan yang kurang terlayani.

Prof. Sulyman Kuranga, seorang profesor urologi, juga menekankan bahwa kanker prostat herediter menjadi ancaman yang semakin besar bagi pria Nigeria, terutama yang memiliki riwayat keluarga penyakit ini. Sayangnya, banyak pria datang untuk dirawat dalam stadium lanjut karena kurangnya perilaku mencari pengobatan dan pemeriksaan kesehatan.

“Kanker prostat sering tidak menunjukkan gejala di awal, sehingga memperburuk keterlambatan. Sayangnya, lebih dari 70 persen pria di Nigeria datang dalam kondisi sudah terlambat, membuatnya sulit diobati.”

Prof. Kuranga juga menjelaskan bahwa sebagian besar kasus kanker prostat bersifat sporadis, meskipun ada proporsi signifikan yang bersifat herediter. Menurutnya, pria yang memiliki ayah, paman, atau kakek yang menderita kanker prostat berisiko lebih tinggi dan harus mulai melakukan pemeriksaan lebih awal.

“Bagi yang memiliki riwayat kanker dalam keluarga, disarankan untuk mulai pemeriksaan lebih awal, di usia 40 tahun. Bagi yang tidak memiliki faktor risiko terlihat, skrining rutin bisa dimulai pada usia 50 tahun. Namun, siapa pun dengan riwayat keluarga kanker prostat harus mulai jauh lebih awal.”

Dengan kemajuan dalam ilmu genetik, kini lebih mudah untuk mengidentifikasi individu berisiko tinggi, memungkinkan dokter untuk memantau lebih dekat dan berintervensi lebih awal. Prof. Kuranga menyerukan peningkatan kesadaran publik dan akses lebih besar pada skrining genetik untuk keluarga berisiko tinggi. “Kanker prostat memiliki komponen genetik. Studi genom menjadi kunci untuk mendeteksi risiko pewarisan. Jika terdeteksi lebih awal, kanker dapat ditangani sebelum menyebar.”

Urolog menekankan bahwa tes PSA bukan satu-satunya solusi untuk mendeteksi kanker prostat. Diagnosis menyeluruh dan kesadaran risiko herediter sangat penting, terlebih bagi pria dengan riwayat keluarga. Penelitian genetik dan akses terhadap skrining perlu ditingkatkan di seluruh Nigeria, agar para lelaki bisa mendapatkan perawatan lebih awal dan efektif. Kesadaran terhadap kanker prostat dan pentingnya skrining rutin harus didorong untuk mencegah diagnosis yang terlambat.

Sumber Asli: punchng.com

Clara Wang

Clara Wang is a distinguished writer and cultural commentator who specializes in societal issues affecting marginalized communities. After receiving her degree from Stanford University, Clara joined the editorial team at a prominent news outlet where she has been instrumental in launching campaigns that promote diversity and inclusion in journalism.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *