Tingkat Kematian Kanker Perempuan Meningkat di Negara-Panas Akibat Suhu Ekstrem

Studi menunjukkan kenaikan kematian kanker antara perempuan di negara-negara panas, dengan fokus pada faktor suhu dan dampak lingkungan. Pentingnya akses perawatan kesehatan untuk perempuan di wilayah ini ditekankan. Temuan ini menyoroti perlunya memasukkan perspektif gender dalam kebijakan kesehatan terkait perubahan iklim.

Dalam studi terbaru, ditemukan bahwa tingkat kematian akibat kanker di antara perempuan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara meningkat seiring dengan kenaikan suhu ekstrem. Data menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, saat suhu meningkat, kematian kanker juga bertambah. Para peneliti mengaitkan hal ini dengan penurunan ozon yang mengakibatkan peningkatan paparan radiasi UV, serta dampak buruk lainnya seperti kekeringan dan kebakaran. “Ini bisa meningkatkan paparan terhadap beragam agen yang berisiko kanker,” ujar Irina Stepanov dari Pusat Kanker Masonic Universitas Minnesota.

Penting untuk memberikan perhatian lebih pada perempuan di wilayah ini, yang sering kali tidak mendapatkan pemeriksaan dan perawatan yang memadai. “Perempuan di wilayah ini menghadapi berbagai hambatan budaya, hukum, dan ekonomi ketika melakukan pemeriksaan,” kata Wafa Abuelkheir Mataria, peneliti senior di Universitas Amerika di Kairo. Temuan ini menunjukkan perlunya mengintegrasikan strategi adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana pengendalian kanker nasional dengan perspektif gender.

Dalam analisis kenaikan suhu dengan jumlah kasus dan kematian kanker antara 1998 hingga 2019, ilmuwan mencatat jumlah kasus meningkat dari 173 menjadi 280 per 100.000 orang untuk setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius. Sedangkan kematian meningkat dari 171 hingga 332 per 100.000 orang untuk setiap derajat. Ovarian cancer adalah jenis kanker yang paling meningkat.

Temuan paling mencolok adalah konsistensi hubungan antara peningkatan suhu dan prevalensi serta kematian akibat kanker, terlihat tidak hanya di tingkat regional, tetapi juga di negara-negara seperti Qatar, Bahrain, Yordania, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Suriah. Penulis mencatat ada faktor lain yang mungkin diperburuk oleh suhu panas, seperti polusi. Polusi udara seperti ozon dan Partikulat Matter (PM2.5) dapat meningkat saat suhu tinggi.

“Kenaikan suhu kemungkinan berperan melalui berbagai mekanisme,” kata Sungsoo Chun, salah satu penulis. “Ini meningkatkan paparan terhadap karsinogen yang diketahui, mengganggu pelayanan kesehatan, dan bisa saja mempengaruhi proses biologis pada level sel,” ungkapnya. Dalam konteks ini, sangat penting untuk memperhatikan akses perempuan terhadap layanan kesehatan di negara-negara yang studinya dilakukan. Untuk itu, para peneliti menggunakan data dari Universitas Washington yang sudah meluruskan angka yang kurang akurat.

“Namun, kami akui bahwa faktor lain seperti perbedaan ketersediaan screening dapat mempengaruhi data prevalensi,” kata Mataria. Meskipun meningkatnya pemeriksaan biasanya menghasilkan banyak kasus, uklah subjek ini bisa mengurangi kematian karena lebih banyak pengobatan juga bisa terjadi.

Maka, penting bahwa kasus dan kematian juga meningkat, kata para peneliti. Stepanov menegaskan bahwa paparan terhadap bahan kimia berisiko tinggi juga dapat meningkat seiring perubahan iklim. “Jadi, penting untuk mengendalikan faktor-faktor ini untuk memahami efek spesifik dari suhu,” tambahnya.

Peneliti berharap temuan awal ini dapat meningkatkan kesadaran dan mendorong negara-negara agar memasukkan perspektif perempuan dalam kebijakan kesehatan dan iklim mereka. “Kami berharap studi ini mendorong pemerintah, peneliti, dan masyarakat sipil untuk menganggap perubahan iklim bukan hanya isu lingkungan, tapi juga isu kesetaraan kesehatan perempuan,” kata Mataria.

Studi baru menunjukkan peningkatan tingkat kematian kanker di kalangan perempuan di negara-negara yang terkena dampak suhu ekstrem. Dengan faktor-faktor seperti polusi dan hambatan akses ke perawatan, hasil ini penting untuk dipertimbangkan dalam kebijakan kesehatan. Diharapkan, hasil ini dapat meningkatkan kesadaran dan integrasi perspektif gender dalam upaya penanganan perubahan iklim dan kesehatan.

Sumber Asli: www.washingtonpost.com

Lila Morrison

Lila Morrison is a seasoned journalist with over a decade of experience in investigative reporting. She graduated from Columbia University with a degree in Journalism and has worked for prominent news outlets such as The Tribune and Global News Network. Lila has a knack for uncovering the truth behind complex stories and has received several awards for her contributions to public discourse.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *