Penelitian oleh MIT menunjukkan bahwa pola distribusi antigen di tumor mempengaruhi respons terhadap terapi blokade titik pemeriksaan imun. Tim mengembangkan vaksin berbasis RNA yang berhasil dikombinasikan dengan ICB dalam kontrol tumor pada model kanker paru-paru. Kombinasi ini dapat menjadi strategi efektif bagi pasien dengan tumor heterogen.
Terapi blokade titik pemeriksaan imun (ICB) menunjukkan efektivitas tinggi dalam pengobatan beberapa kanker dengan membantu sistem imun mengenali sel kanker yang menyaru sebagai sel sehat. Sel T dirancang untuk mengenali patogen tertentu atau sel kanker melalui fragmen pendek protein yang dikenal sebagai antigen. Sel kanker dapat menghindari serangan dengan menampilkan protein checkpoint yang mematikan sel T. Terapi ICB bekerja dengan mengikat protein ini agar sel T bisa menyerang tumor.
Penelitian menunjukkan distribusi antigen di seluruh tumor mempengaruhi respons terhadap terapi checkpoint. Tumor dengan ekspresi antigen seragam merespons baik, sedangkan tumor heterogen yang memiliki subpopulasi antigen berbeda tidak merespons. Kebanyakan tumor termasuk dalam kategori ini, menyebabkan upaya meningkatkan respons terapi mengalami hambatan karena kurangnya pemahaman mengenai mekanisme distribusi antigen.
Peneliti MIT melakukan analisis pola ekspresi antigen dan respons sel T untuk memahami alasan rendahnya respons pasien tumor heterogen terhadap terapi ICB. Mereka mengidentifikasi pola arsitektur antigen yang berpengaruh pada respons imun dan mengembangkan vaksin berbasis RNA yang efektif ketika dipadukan dengan terapi ICB pada model kanker paru-paru tikus.
Stefani Spranger, penulis senior studi ini, menjelaskan bahwa pemilihan antigen saat ini didasarkan pada stabilitas prediksi, namun penting untuk menjelajahi interaksi antar hierarki antigen. Penelitian melibatkan model tikus kanker paru-paru dengan pola ekspresi antigen yang berbeda untuk menguji pengaruhnya terhadap respons sel T dengan menciptakan tumor klonal dan subklonal.
Tim menemukan bahwa kunci respons imun adalah seberapa luas antigen diekspresikan, antigen lain yang bersamaan, serta kekuatan ikatan dan karakteristik antigen dari berbagai populasi sel. Pada tumor klonal, model tikus dapat mengontrol pertumbuhan tumor dengan ICB terlepas dari kombinasi antigen kuat atau lemah. Namun, pada tumor subklonal, persaingan antar populasi sel T lebih berpengaruh terhadap respons daripada sinergi.
Dengan memperhitungkan temuan ini, peneliti mendesain vaksin berbasis RNA yang meningkatkan respons imun saat dipadukan dengan terapi ICB. Kombinasi vaksin-ICB mampu mengontrol tumor, terlepas dari kekuatan ikatan antigen. Data klinis menunjukkan bahwa kombinasi vaksin-ICB mungkin menjadi strategi efektif pada pasien tumor heterogen, dan pola arsitektur pada tumor pasien berkorelasi dengan respons imun pada model tikus.
Terapi imun, khususnya ICB, menawarkan harapan dalam pengobatan kanker dengan meningkatkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dan menyerang sel kanker. Namun, tantangan muncul pada tumor dengan ekspresi antigen heterogen, yang mengakibatkan respons imun yang tidak konsisten. Memahami bagaimana pola ekspresi antigen berinteraksi dengan respons sel T penting untuk meningkatkan efektivitas terapi ini.
Studi ini menyoroti pentingnya memahami pengaruh distribusi antigen terhadap respons imun dalam terapi kanker. Penemuan bahwa kombinasi vaksin berbasis RNA dan ICB dapat meningkatkan kontrol tumor pada model tikus memberikan harapan bagi pasien dengan tumor heterogen. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengoptimalkan strategi ini untuk aplikasi klinis.
Sumber Asli: news.mit.edu