Terapi sel CAR-T untuk kanker dapat menyebabkan gangguan kognitif ringan, dikenal sebagai “kabut otak”. Penelitian di Stanford menunjukkan bahwa mekanisme gangguan ini mirip dengan efek kemoterapi, memperlihatkan kemungkinan intervensi untuk memperbaiki masalah kognisi. Ini penting untuk pasien, terutama anak-anak, yang berisiko mengalami masalah perkembangan.
Terapi sel CAR-T, yang digunakan untuk mengobati kanker, tampaknya memiliki efek samping yang kurang diinginkan. Pasien sering melaporkan mengalami masalah kognitif, seperti sulit berkonsentrasi dan pelupaan, yang diistilahkan sebagai “kabut otak”. Sebuah studi baru yang dipimpin oleh Stanford Medicine mengindikasikan bahwa terapi ini dapat menyebabkan gangguan kognitif ringan yang tampaknya tidak terkait dengan pengobatan kanker lainnya.
Studi yang akan dipublikasikan di Cell pada 12 Mei ini, sebagian besar dilakukan pada tikus, mencatat bahwa mekanisme di balik gangguan kognitif akibat terapi CAR-T mirip dengan yang dihasilkan oleh kemoterapi serta infeksi pernapasan seperti flu dan COVID-19. Penelitian ini juga menawarkan beberapa strategi yang bisa dijajaki untuk mengatasi masalah ini. Para peneliti mengungkapkan bahwa obat yang dapat meredakan kabut otak dapat memperbaiki pemulihan pasien setelah terapi imun kanker.
“Terapi sel CAR-T menjanjikan sekali: Kami melihat survivor jangka panjang setelah terapi ini untuk kanker agresif. Ini menyelamatkan pasien yang seharusnya sudah tidak ada harapan,” ungkap Dr. Michelle Monje, penulis senior sekaligus profesor di bidang Onkologi Neuro-Pediatrik. “Kami perlu memahami semua efek jangka panjangnya, termasuk sindrom baru ini yang berkaitan dengan gangguan kognitif akibat imunoterapi.”
Penelitian ini dipimpin oleh Anna Geraghty, PhD, dan mahasiswa MD/PhD Lehi Acosta-Alvarez. Gangguan kognitif yang dialami pasien setelah terapi CAR-T biasanya ringan; mereka tidak mengalami demensia. Namun, kondisi ini frustasi dan mungkin tidak pulih tanpa intervensi. Dalam eksperimen, tim Monje berhasil membalikkan gangguan dengan menggunakan senyawa mirip obat yang ada saat ini atau yang masih dalam tahap pengembangan di klinis.
Monje menekankan bahwa dampak pengobatan kanker terhadap kognisi adalah hal yang penting untuk diteliti, terutama bagi anak-anak yang otaknya masih berkembang. Terapi CAR-T pertama kali disetujui untuk leukemia limfoblastik akut pada tahun 2017. Prosesnya meliputi pengambilan sel T dari pasien, memodifikasi mereka untuk menyerang sel kanker, lalu mengembalikannya ke tubuh pasien.
Saat ini, CAR-T juga digunakan untuk jenis kanker darah lain seperti mieloma ganda dan beberapa jenis limfoma, dan sedang diuji untuk tumor solid. Tim Monje pun memiliki uji klinis CAR-T pada tumor batang otak dan sumsum tulang pada anak yang menunjukkan awal dari kesuksesan.
Meskipun pasien melaporkan kabut otak setelah terapi, studi yang mengukur sejauh mana gangguan kognisi akibat terapi ini baru saja dimulai. Untuk memahami lebih jauh, peneliti mempelajari tikus dengan tumor yang dipicu di berbagai lokasi, termasuk otak dan tulang. Penelitian ini berfokus pada bagaimana lokasi tumor dan respons imun berpengaruh.
Studi menunjukkan bahwa terapi CAR-T menyebabkan gangguan kognitif ringan pada tikus dengan berbagai jenis kanker. Di antara tikus yang diuji, hanya sekelompok dengan kanker tulang yang tidak mengembangkan gangguan kognisi. “Ini adalah studi pertama yang menunjukkan imunoterapi saja cukup untuk memicu gejala kognitif yang bertahan,” ujar Monje.
Penelitian ini menemukan bahwa sel imun di otak yang disebut mikroglia berperan penting dalam gangguan ini. Setelah diaktifkan oleh respons imun tubuh, mikroglia memproduksi molekul inflamasi yang berdampak luas, merusak oligodendrosit yang berfungsi menjaga ikatan sel saraf. Penelitian juga mencatat bahwa mikroglia dan oligodendrosit mengalami perubahan serupa di otak manusia yang mengikuti uji klinis CAR-T.
Tim itu juga mengujicoba beberapa strategi untuk memperbaiki masalah kognitif. Salah satunya dengan memberikan senyawa yang menurunkan jumlah mikroglia dalam otak selama dua minggu. Menghentikan atau menurunkan aktivasi mikroglia tampaknya efektif memulihkan fungsi kognitif tikus. “Penelitian ini menyoroti prinsip mendasar yang menyebabkan kabut otak,” tambah Monje. “Kami menemukan sel dan target molekuler yang dapat Investigasi lebih lanjut.”
Penelitian ini melibatkan kolaborasi dari New York University’s Grossman School of Medicine dan Washington University School of Medicine di St. Louis, dan didanai oleh sejumlah lembaga serta yayasan yang relevan.
Secara keseluruhan, penelitian ini mengungkap bahwa terapi CAR-T dapat menyebabkan gangguan kognitif ringan, dengan mekanisme yang mirip dengan kemoterapi dan infeksi pernapasan. Ini menjadi perhatian terutama untuk anak-anak sebagai pasien yang masih berkembang. Temuan ini juga memberikan harapan baru dengan potensi solusi pengobatan yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Sumber Asli: www.labmanager.com