Peneliti di Dana-Farber dan Broad Institute mengembangkan MM-like score, yang mengukur keparahan multiple myeloma dan risiko meningkatnya menjadi kanker aktif. Skor ini diharapkan dapat digunakan untuk intervensi dini. Temuan ini berasal dari analisis lebih dari 1,000 individu dan dapat membantu dalam perawatan personal bagi pasien.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Dana-Farber Cancer Institute dan Broad Institute dari MIT dan Harvard merilis sebuah penilaian risiko baru untuk mengukur keparahan dan risiko perkembangan multiple myeloma, sejenis kanker darah. Skor ini, yang dikenal sebagai skor MM-like, mengamati mutasi DNA untuk memahami perjalanan penyakit dari tahap prakarena menuju kanker aktif. Skor yang lebih tinggi menunjukkan risiko progresi yang lebih cepat, dan diharapkan bisa membantu dalam pengambilan keputusan intervensi dini di masa mendatang.
Skor MM-like ini khususnya berfungsi bagi pasien dengan kondisi prakarena multiple myeloma, seperti monoclonal gammopathy of undetermined significance (MGUS) atau smoldering multiple myeloma (SMM). Penelitian ini membawa kita pada perawatan yang lebih personal bagi pasien serta memberikan informasi lebih baik mengenai strategi intervensi dini. Jean-Baptiste Alberge, PhD, salah satu penulis senior studi ini, menekankan pentingnya temuan ini.
Setiap tahun, sekitar 32,000 orang di AS didiagnosa dengan multiple myeloma. Dari MGUS atau SMM, hanya 1 sampai 10 persen pasien yang berkembang menjadi multiple myeloma aktif dalam satu tahun; bahkan 50 persen kasus SMM risiko tinggi berkembang dalam dua tahun. Ada kebutuhan mendesak untuk mengidentifikasi faktor genetik yang dapat memprediksi perkembangan penyakit ini.
Dr. Irene Ghobrial, yang memimpin Center for Early Detection and Interception of Blood Cancers di Dana-Farber, tengah berusaha untuk mengidentifikasi lebih jauh. Saat ini, pendekatan risiko yang ada menilai pasien dengan kategori “tinggi” atau “rendah” berdasarkan ukuran beban tumor, tetapi tidak menempatkan faktor genetik dalam pertimbangan.
Dalam studi ini, skor MM-like menganalisis perubahan genetik yang ada untuk memahami kondisi penyakit. Penilaian berfokus pada mutasi yang muncul seiring waktu. Menurut Alberge, menganggap risiko hanya sebagai “tinggi” atau “rendah” tidak mampu menggambarkan kerumitan waktu dan perkembangan tumor.
Tim peneliti, yang termasuk mahasiswa pasca-doktoral Ankit Dutta dan Andrea Poletti, mengumpulkan data dari lebih dari 1,000 individu dengan multiple myeloma dan kondisi prakarena. Ini adalah salah satu analisis terbesar mengenai data genom lengkap untuk multiple myeloma.
“Studi ini meningkatkan kemampuan kita untuk menemukan mutasi yang dapat ditindaklanjuti secara klinis,” ujar Gad Getz, salah satu direktur di Broad Institute. Mereka membandingkan mutasi yang lebih sering ditemukan dalam penyakit aktif dan yang tidak teramati, sehingga dapat mengidentifikasi gen-gen yang terkait dengan perubahan menjadi penyakit aktif.
Tim ini juga menguji 47 sampel tumor dari 20 pasien dalam beragam tahap kemajuan penyakit, menemukan bahwa skor MM-like sering kali menggambarkan jalannya penyakit dalam banyak kasus. Misalnya, dari 13 pasien yang tidak mengalami perkembangan, 11 memiliki skor yang stabil, sedangkan 5 dari 7 pasien yang mengalami perkembangan menunjukkan peningkatan skor MM.
Menariknya, tim menemukan bahwa perubahan genetik awal mungkin terjadi sangat dini, bahkan saat pasien berusia 20-an, namun biasanya baru terdiagnosis di usia yang lebih lanjut. Agar skor MM-like lebih dapat diakses secara klinis, mereka merancang tes berdasarkan biopsi cair, yang lebih mudah dibandingkan biopsi sumsum tulang.
Dengan metode baru ini, pemantauan perkembangan kondisi diharapkan dapat dilakukan lebih sering. Penelitian juga bertujuan untuk lebih memvalidasi dan meningkatkan skor dengan mempelajari lebih banyak pasien dalam waktu yang lebih lama.
Skor MM-like yang baru dikembangkan memungkinkan penilaian dini terhadap risiko kemajuan multiple myeloma dari kondisi prakarena. Penelitian ini menyajikan wawasan genetik yang pasti akan mengarah pada pengobatan yang lebih personal dan lebih efektif. Dengan penggunaan biopsi cair yang lebih praktis, pemantauan kondisi ini dapat dilakukan lebih sering, yang sangat penting bagi pengelolaan penyakit ini di masa depan.
Sumber Asli: www.news-medical.net