Studi baru menunjukkan lonjakan tiga kali lipat dalam kasus kanker usus buntu untuk generasi X dan empat kali lipat untuk milenial. Pentingnya kesadaran dan diagnosis dini menjadi sorotan, mengingat tidak ada standar dalam pengawasan kanker ini.
Sebuah studi baru menunjukkan adanya lonjakan signifikan dalam kasus kanker usus buntu di kalangan generasi X dan kaum milenial. Menurut penelitian yang dipublikasikan pada 9 Juni di Annals of Internal Medicine, kasus kanker usus buntu meningkat tiga kali lipat pada orang-orang yang lahir antara 1976 hingga 1984, dan bahkan meningkat empat kali lipat untuk mereka yang lahir antara 1981 hingga 1989.
Penelitian ini membandingkan data kronologis dalam interval lima tahun dari Program Pengawasan, Epidemiologi, dan Hasil (SEER) dari National Cancer Institute, menggunakan periode 1941 hingga 1949 sebagai dasar. Dr. Andreana Holowatyj, penulis utama dan asisten profesor di Vanderbilt University Medical Center, mengatakan temuan ini menunjukkan perlunya peningkatan kesadaran tentang kanker usus buntu. Ini, baik dari sisi klinis maupun publik, serta penelitian lebih lanjut untuk memahami penyebab kenaikan angka yang tajam ini.
“Ketika kita melihat angka yang mengkhawatirkan mengenai kanker usus buntu di berbagai generasi, serta fakta bahwa 1 dari 3 pasien yang didiagnosis kanker usus buntu berusia di bawah 50 tahun, ini menunjukkan perlunya kesadaran akan tanda dan gejala kanker usus buntu,” jelas Holowatyj.
Meskipun kanker usus buntu terbilang langka, penting bagi individu dengan gejala seperti nyeri perut, kembung, perubahan kebiasaan buang air besar, dan kehilangan nafsu makan untuk segera berkonsultasi dengan tenaga medis. Mendiagnosis kanker ini secara dini sangat penting.
Tahun ini, peneliti mendalami statistik dengan meneliti basis data SEER. Di AS, sekitar 3.000 kasus baru kanker usus buntu didiagnosis setiap tahun. “Karena tingkat insiden pada generasi muda seringkali menunjukkan beban penyakit di masa depan, hasil ini mendukung perlunya penyelidikan spesifik histologi kanker kelenjar sekum, serta peningkatan edukasi di antara penyedia layanan kesehatan,” demikian dijelaskan dalam studi tersebut.
Sampai saat ini, kanker usus buntu tidak memiliki pedoman skrining yang standar, faktor risiko, atau klasifikasi tumor. Kekurangan bukti klinis tersebut mengakibatkan diagnosis yang terlambat dan prognosis yang buruk, di mana hingga separuh pasien didiagnosis dengan penyakit metastatik jauh. Tingkat kelangsungan hidup lima tahun bervariasi antara 10% hingga 63%.
Di awal tahun ini, Holowatyj dan tim ahli telah mengidentifikasi enam area prioritas penelitian kunci untuk memahami tumor usus buntu dengan lebih baik dan meningkatkan perawatan serta hasil bagi pasien. Rekomendasi tersebut diterbitkan pada 20 Februari di Nature Reviews Cancer hasil pembicaraan di Forum Pemikir Ilmiah inagurasi yang disponsori oleh Yayasan Penelitian Kanker Usus Buntu Pseudomyxoma Peritonei (ACPMP).
Studi terbaru yang ada di Annals of Internal Medicine ini didukung oleh ACPMP dan National Institutes of Health. Peneliti lain dalam studi ini mencakup Dr. Mary Kay Washington dari VUMC, Dr. Richard Goldberg dari West Virginia University, serta Dr. Caitlin Murphy dari UT Health Houston.
Peningkatan jumlah kasus kanker usus buntu pada generasi X dan milenial menjadi perhatian serius. Penting untuk meningkatkan kesadaran akan gejala dan perlunya diagnosis dini. Studi ini juga menunjukkan bahwa tidak ada pedoman standar untuk diagnosis sehingga secara tidak langsung memperburuk prognosisnya. Para peneliti menyerukan penelitian lebih lanjut untuk memahami penyebab lonjakan insiden serta kebutuhan akan kebijakan kesehatan yang lebih baik.
Sumber Asli: www.newswise.com