Studi oleh Pusat Kanker Universitas Cincinnati mengungkap peran tembaga dalam pertumbuhan karsinoma sel ginjal sel klarifikasi (ccRCC). Akumulasi tembaga berkaitan dengan hasil yang lebih buruk pada pasien, sementara juga memperlihatkan bagaimana metabolisme dan pertumbuhan sel kanker dipengaruhi. Penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan teknik canggih dan pendekatan multidisiplin untuk mengeksplorasi kerentanan baru dalam pengobatan.
Penelitian terbaru yang dipimpin oleh peneliti dari Pusat Kanker Universitas Cincinnati menjelaskan bagaimana akumulasi tembaga memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan karsinoma sel ginjal sel klarifikasi (ccRCC), jenis kanker ginjal yang paling umum. Diterbitkan pada 31 Oktober di jurnal Cancer Discovery, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak tembaga yang terakumulasi, semakin buruk hasil bagi pasien ccRCC. Penelitian ini menggunakan pendekatan multidisiplin untuk mengidentifikasi bahwa sel ccRCC mengakumulasi tembaga lebih banyak saat penyakit berkembang dari stadium 1 ke metastasis.
Tim peneliti menemukan bahwa kadar tembaga yang tinggi merangsang sel kanker untuk menghasilkan lebih banyak enzim khusus yang mendukung pertumbuhan dan produksi energi. Selain itu, glukosa membantu membentuk molekul pelindung bernama glutation, yang membersihkan racun dan mengurangi efek berbahaya dari tembaga, memberikan keuntungan bertahan hidup tambahan bagi sel kanker. Maria Czyzyk-Krzeska, MD, PhD, penulis utama penelitian, menyatakan, “Dengan kata lain, tembaga menyebabkan adaptasi multilevel pada sel kanker yang mendukung pertumbuhan tumor.”
Menggunakan teknik analisis canggih seperti RNA sequencing sel tunggal dan transcriptomics spasial, mereka menemukan bahwa tumor ccRCC memiliki “titik panas” metabolik yang meningkatkan produksi energi tergantung tembaga. Titik panas ini berada dekat sel tumor lain yang memiliki fitur proliferasi yang penting untuk pertumbuhan tumor. “Ini menunjukkan bahwa sel-sel yang proliferatif didukung oleh sel-sel yang aktif secara metabolik,” ungkap Czyzyk-Krzeska.
Meskipun pemahaman tentang bagaimana tembaga mendukung pertumbuhan sel ccRCC semakin baik, penyebab akumulasi tembaga di tumor masih belum jelas. Para ahli berspekulasi bahwa akumulasi ini dapat berasal dari paparan lingkungan, seperti merokok atau asap kebakaran hutan yang kaya tembaga. Peneliti juga menunjukkan bahwa tingkat tembaga dalam spesimen pasien mungkin dapat digunakan sebagai biomarker untuk memprediksi agresivitas kanker.
Melangkah maju, tim peneliti berencana untuk mengeksplorasi kerentanan yang mungkin dapat ditargetkan dengan terapi baru, termasuk terapi kombinasi yang menarget kedua sel metabolik dan proliferatif. Penelitian ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu untuk menghasilkan temuan yang berdampak. Penelitian ini melibatkan beberapa penulis co, termasuk Julio Landero Figueroa dan Jarek Meller, yang masing-masing bekerja di analisis kimia dan bioinformatika kajian.
Kanker ginjal sel klarifikasi (ccRCC) merupakan salah satu bentuk kanker ginjal yang paling umum dan terhubung erat dengan faktor lingkungan dan gaya hidup. Penelitian saat ini menyoroti peran tembaga sebagai elemen jejak penting yang dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan sel kanker. Penelitian ini meneliti hubungan antara akumulasi tembaga dalam sel tumor dan dampaknya terhadap perkembangan penyakit, menggali lebih dalam mekanisme yang mendasari akumulasi tembaga. Hasilnya mungkin membawa pencarian baru untuk target terapeutik moderat dalam pengobatan ccRCC dan mendukung pendekatan multidisiplin dalam penelitian kanker.
Penelitian oleh Universitas Cincinnati menunjukkan bahwa akumulasi tembaga berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan karsinoma sel ginjal sel klarifikasi. Temuan ini menyiratkan bahwa tembaga memiliki peran sentral dalam metabolisme sel kanker, memperlihatkan potensi untuk pengembangan biomarker dan terapi baru untuk meningkatkan hasil pengobatan. Meskipun mekanisme akumulasi tembaga di tumor belum sepenuhnya dipahami, riset ini membuka jalan bagi strategi pengobatan baru yang lebih efektif.
Sumber Asli: www.uc.edu